NEWS UPDATE :  

Berita

Penyesalan di Pinggir Pantai

by:Silvia Ayu Agustina


Pagi ini seperti biasanya. Ya, dalam tebalnya embun pagi bahu yang kokoh walaupun sudah menginjak usia senja ini sudah memikul beratnya beban hidup. Menembus ruang dan waktu demi menghidupi keluarga kecilnya. Bergulat dengan kerasnya dunia di bawah naungan doa. Hanya itu yang dapat ia harapkan, restu ilahi yang menuntun jalannya. Sudah berkilo-kilo jalan yang ia tempuh sejak beranjak dari rumahnya tadi, namun tak jua ia menemukan para pembeli yang ingin membeli dagangan kecilnya ini. Tak putus asa dia terus berjalan membelah keramaian di ibu kota ini, menjajakan barang dagangannya pada setiap insan yang berpapasan dengannya. Tak jarang ia berenti sejenak guna mengistirahatkan bahunya yang sudah merah memar berbekas kayu yang di pikulnya, peluh keringatnya sudah membanjiri tubuhnya sejak tadi. Saat istirahatnya ia rasa cukup, kembali lagi dia berkutat dalam kerasnya kota metropolitan. Berjalan mengarungi sungai kehidupan. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, namun tak satupun barang dagangannya dapat terjual. Suara merdu itu mulai memanggil. Memanggil setiap umat untuk bersujud kepada-Nya. Insan yang lelah ini langsung menuju panggilan itu, menghanturkan setiap doa dan keluh kesahnya hari ini. “Waktu dzuhur, aku akan berhenti sejenak di masjid depan itu, sebaiknya barang daganganku ini akan kutaruh di sini saja, aku yakin tuhan akan menjagakannya untukku”. Mulailah  ia bersujud kepada tuhannya. Melupakan semua keluh kesah di dunia fana ini. Setelah beberapa menit kemudian, kaki yang tua dan lelah ini mulai keluar dari masjid, bersiap kembali menjelajahi pinggiraan nasib. Saat ingin mengambil barang dagangannya di  tempat yang tadi ia taruh, terkejut ia melihat barang dagangannya hancur berantakan. Kue-kue yang dibuat dengan penuh cinta oleh istrinya kini hanya tinggal sampah yang berserakan ditanah. Bahkan wadahnya sudah hancur lebur seakan baru ada badai topan menerjangnya. Ia hanya bisa meratap melihat cobaan ini. “Yaallah, bagaimana semua ini dapat terjadi, bagaimana aku bisa memberi makan keluargaku hari ini jika barang daganganku hancur semua, Yarobb aku percaya akan kekuasaanmu”. Dengan hati yang sangat amat terluka ia mulai melangkah pulang meninggalkan kesedihan di pelataran masjid tadi menuju gubuk tuanya yang hangat.

 

           

            “Assalamualaikum ibu, bapak pulang!”. Wanita tua itu langsung berlari kecil menuju pintu menyambut sang rajanya telah sampai dirumah. “Loh bapak, barang dagangannya mana? sudah habis terjual ya pak, wahh makan enak dong kita hari ini, yeayy!”. Wanita ini terus tersenyum bahagia menyambut kedatangan suami tercinta, namun jiwa yang rapuh ini seakan tak lagi mampu lagi berkata menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. “Ibu, duduk dulu deh bu, bapak mau ngomong sesuatu. Kirana belum pulang ya bu?”. Suami istri itu pun mulai menuju kursi yang terbuat dari bambu namun seakan sebuah singgasana yang megah dirumah ini. “Iya pak, belum pulang. Ada apa pak? Dagangannya laris banget ya pak hari ini, kita bisa bayar uang sekolahnya Kirana kan pak. Yeayy jadi Kirana tak perlu marah-marah lagi hari ini”. Istrinya sangat antusias untuk menunggunya bercerita, dia seakan tak sanggup untuk mengatakan yang sebenarnya terjadi hari ini, ia tak mampu melihat senyum manis di bibir istrinya ini luntur. Namun apa daya, ini semua kenyataannya. “Bu, maaf hari ini bapak pulang gak bawa uang. Barang dagangan bapak habis berserakan di tanah entah tau siapa yang menghancurkan semuanya. Bapak belum bisa kasih ibu uang untuk bayar sekolah Kirana. Tapi bapak akan selalu usahakan untuk bisa lunasin semua tagihannya bu”. Lunturlah senyuman manis itu di wajah tua dan keriputnya yang tadi sangat indah terlukis disana. Kini, wajah itu berubah menjadi wajah yang amat sangat memilukan. Air matanya mulai menetes membentuk aliran sungai kesedihan di wajah tua nya. Tak dapat ia berkata-kata lagi, hanya air mata yang mampu menjelaskan apa yang ia rasakan saat ini. “Bu, bapak minta maaf ya bu, ibu jangan sedih gitu dong. Bu, ibu, maafin bapak bu, bapak gak tau kalau akan begini”. Berlari ia pergi meninggalkan sang suami di tengah rumah tadi, menuju ruangan yang mana akan sedikit menenangkan hatinya. Suaminya masih terus memanggil namanya untuk meminta maaf. Sekarang siapa yang ingin di salahkan?

 

 

            Beberapa jam kemudian, pulang lah buah hati mereka. Nampak basah keringat terlukis mengerikan di baju coklatnya. Terlihat di wajahnya ia sangat lelah, namun dapat terlihat juga di wajahnya sebuah ekspresi yang sangat sulit diartikan, apakah lapar, sedih atau malu. “Ehh anak bapak pulang, lepas dulu sepatunya ya nak, baru setelah itu solat ashar dlu” sambut lelaki tua ini di muka pintu. “Pak, Kirana sangat lapar. Hari ini bapak tidak memberi uang saku bukan? Dan sakarang Kirana ingin makan. Oh iya pak, Kirana dapat surat peringatan dari sekolah untuk melunasi tagihan uang sekolah yang sudah 3 bulan menunggak pak. Kirana malu sama teman-teman”. Ia hanya mampu diam terpaku sambil tersenyum menutupi semua kesedihannya mendengar keluh kesah buah hati tercintanya ini. “Iya, Kirana masuk dulu, solat ashar baru nanti bapak mau ngomong sama Kirana”. Senyum indahnya mulai terlukis di wajah remajanya ini.

 

            Kini ia sudah selesai memanjatkan doa nya, masih dengan wajah tersenyum ia mulai menemui sang ayah di ruang tengah. “Sudah selesai nak? Sini-sini duduk di samping bapak, ada yang mau bapak bicarakan”. Dia mulai duduk di samping sang ayah, dan tak lupa senyum manis itu masih terus terlukis disana. “Iya pak, ada apa? Kirana sudah bisa bayar uang sekolah ya pak? Wahhh jadi Kirana gak malu lagi deh sama teman-teman”. Miris mendengarnya, namun wajah tua itu masih saja mampu menyembunyikan kesedihan  di balik senyumya. “Nak, nanti Kirana bisa bilang kan ke ibu guru untuk bisa memperpanjang waktu pembayarannya dulu, bapak belum punya uang untuk bayar sekolahnya Kirana, nanti bapak akan terus carikan uang untuk kirana ya”. Senyum itu langsung luntur seakan terbawa arus deras sungai, dan ya tangis itu mulai pecah. Tanpa berkata-kata langsung saja ia berlari ke kamarnya. Mengurung diri yang sedang dirundung pilu. Insan tua ini terdiam kaku seakan tak tau apalagi yang harus dilakukannya. Ia mulai keluar rumah mencari setitik harapan untuk kembali mengukir senyum indah di wajah istri dan anaknya dirumah.

 

            Mengarungi pinggiran jalan kota metropolitan ini, ia tak tau lagi harus kemana arah yang ia tuju. Seakan semuanya buntu. Namun tak putus asa ia mencari. Mencari secerca harapan untuk menyambut mentari esok hari. Sampai akhirnya ia bertemu seorang pak tua di pinggir pantai, ia tampak kewalahan mengangkat jaring yang di tebarnya sejak tadi. Tubuhnya yang tua renta memang terlihat tak pantas melakukan pekerjaan ini. Tanpa pikir panjang langsung saja ia berjalan menuju pak tua yang menyedihkan itu, membantunya. “Pak, saya bantu ya, bapak terlihat sangat kesusahan”. Ia mulai membantu mengangkat jaring itu, memutikki setia ikan yang tersangkut disana. Setelah selesai semua, ia diajak pak tua itu untuk mengunjungi rumahnya. Dan ternyata ia hanya tinggal sendiri, tak ada sanak keluarga terlihat disana. “Pak, dimana istri dan anak-anak bapak? Mengapa terlihat sepi sekali di rumah yang besar ini”. Jiwa yang sebelumnya sangat menyedihkan ini  mulai menanyakan keberadaan keluarganya, tergurat senyum miris di wajah pak tua itu. “Haha, mereka sudah pergi entah tau kemana saat saya masih miskin dulu, Dan saat saya sudah sukses seperti saat ini mereka ingin kembali kepada saya. Tentunya saya menolaknya mentah-mentah”. Ia hanya mampu ber oh ria mendengar penjelasan pak tua itu tentang keberadaan keluarganya. “Kamu darimana? Kenapa senja begini kamu masih berada di jalan? Bukankah harusnya kamu berkumpul dengan keluarga?” pak tua itu juga mulai balik menanyakan keberadaan keluarganya. Namun ia hanya dapat tersenyum simpul menutupi kesedihan dan air matanya yang seakan tak mampu terbendung dan akan meluap saat ini juga. Pak tua itu langsung mengerti apa yang terjadi padanya, dan pak tua itupun menawarkian bantuan untuknya. “Sudahlah nak, jangan bersedih, kamu bisa bekerja dengan saya, kamu bisa mencari ikan di laut dengan saya hari ini. Sebaiknya kamu pulang dulu dan temui keluargamu. Ijinlah kepada mereka dan berilah mereka janji bahwa kamu akan membawa membawakan uang untuk mereka esok hari”. Ia mulai tersenyum, harapannya  mulai ada dan berasal dari pak tua ini. Langsung saja ia kembali kerumahnnya, bercerita kepada keluarganya apa yang barusan terjadi, dan kemudian ia kembali ke kediaman sang pak tua itu untuk ikut melaut bersamanya. Mencari secerca harapan untuk kehidupan esok hari.

 

            Mulai lah ia pergi ke laut bersama pak tua itu. Dan ya, Dewi Fortuna sedang mengiringi  langkahnya kali ini. Ia mendapatkan banyak ikan untuk dijual, dan ia bisa membawa uang yang banyak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Hari-hari berlalu dan kehidupan keluargany mulai tercukupi, namun selalu saja merasa kurang, entah sang anak yang meminta ini itu dan istrinya pun meminta beberapa perhiasan mewah. Pada suatu waktu, lagi dan lagi ia mendengar keluh kesah sang buah hati yang ingin membeli smartphone seperti teman sebayanya. Yatuhan, cobaan apalagi ini. Dan ia pun mulai kembali mengunjungi kediaman pak tua itu, menceritakan semua masalahnya. Namun, kali ini pak tua itu tidak mengijinkannya karena ya memang saat ini cuacanya tidak baik untuk melaut, resikonya sangat besar. Namun karena sang istri dan anaknya yang terus menerus mendesak untuk dibelikan barang-barang mewah iya dengan tekad kuat ingin melaut untuk bisa mendapatkan uang untuk dibawa pulang. Dengan sangat terpaksa pak tua itu mengijinkannya untuk melaut walau dengan hati yang sangat gelisah karena takuat suatu hal terjadi padanya.

 

            Setelah 3 hari berlalu, ia tak kunjung datang. Semua orang sangat khawatir dengan keaadannya. Orang orang mulai mencari keberadaannya di pinggiran pantai, namun tak terlihat. Dan beberapa nelayan lainnya pun ikut turut mencari. Dan ya, hanya jasad nya yang dapat ditemukan mengambang di tengah laut. Langsung saja warga mengabarkan kepada anak dan istrinya bahwa sang suami ditemukan tak bernyawa.”Assalamualaikum, buu, ibuu, buu, buka pintunya bu”. Langsung saja sang istri membukakan pintu. Tak disangka, ia mendapat kabar duk. Ia segera berlari menuju oinggir pantai membelah segerombolan orang yang memadati disana. Saat sampai disana, ia terduduk tak berdaya di pinggir pantai menunggu kedatangan sang suami. Kedatangan sang suami yang sudah tak bernyawa lagi. Anaknya menangis sesegukan tak menyangka ini semua terjadi. Rasa bersalah mulai menyelimuti hatinya. Ia menyadari betapa keterlaluannya ia dulu meminta dibelikan smartphone oleh sang ayah, padahal sang ayah sedang tidak ada uang. Terus menerus merengek meminta dan akhirnya, sang ayah meregang nyawa demi membelikan apa yang diinginkannya. Sungguh ia sangat menyesali perlakuannya pada sang ayah. Tak seharusnya ia bersikeras meminta begitu. Dan kini hanyalah penyesalan yang tersisa. Perbuatan apapun tak mampu membangunkan ayah tercinta dari tidur panjangnya.

 

            Kini, ia hanya dapat meratapi kepergian sang ayah yang sangat menyedihkan. Meninggalkan segores kenangan indah dimasalalu. Melukis beberapa pemandangan indah dihati. Bagaimana lembutnya sang ayah, kerja kerasnya, pengorbanannya, dan kecintaan nya kepada keluarga sehingga harus bertaruh nyawa demi memenuhi apa yang diminta anak dan istrinya.

 

            Ia kini terbujur kaku disana. Dibawah timbunan kenangan indah yang ia tinggalkan. Meninggalkan segudang kesedihan di hati sang buah hati. Kini ia  telah pergi. Pergi dan tak akan kembali. Namun ia tak pernah menyesali ini, karena ia telah menjadi pahlawan yang tak terganti.